Senin, 09 Maret 2009

KRISIS MORAL DAN BUDAYA DI TENGAH PANGGUNG DEMOKRASI



Tanggal 9 April 2009 merupakan tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu pemilihan secra langsung presiden dan wakil presiden untuk kedua kalinya setelah pemilu tahun 2004. Menghadapi perayaan pesta rakyat kali ini sebanyak 34 parpol siap bertarung untuk memperebutkan kursi legislatif di DPR dan setelah itu dilanjutkan dengan Pemilu kembali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2009-2014.

34 Parpol bukanlah jumlah yang sedikit, semuanya mempunyai visi dan misi yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yakni seperti yang dikumandangkan di dalam pembukaan UUD 1945,sebagai berikut:

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kembali ke masalah demokrasi tentang Kesejahteraan Sosial. Dalam konteks empiris, demokrasi harus kita kembalikan pada moralitas. Karena demokrasi bukanlah doktrin yang dipaksakan. Demokrasi harus dipahami dalam koridor moralitas, HAM, budaya dan rambu-rambu normatif (hukum), karenanya demokrasi tidak selalu dimaknai dengan kebebasan yang tak terbatas. Pemahaman tentang konsep demokrasi sekarang ini malah sebaliknya, demokrasi dimaknai sebagai suatu kebebasan yang sebebas-besasnya. Dengan keadaan seperti ini tidak heran apabila banyak sekali masalah yang terjadi dengan konsep dasar demokrasi yang salah.

Menjelang pesta akbar bangsa Indonesia pada tanggal 9 April mendatang berbagai isu serta permasalahan politik muncul ke permukaan. Misal, isu perdebatan terkait iklan maupun pernyataan politik juga mewarnai isu menjelang Pemilu 2009 beberapa waktu lalu. Sebut saja iklan partai demokrat yang mencoba menonjolkan keberhasilan SBY dalam menurunkan harga BBM. Begitu juga PDI Perjuangan mencoba menawarkan program sembako murah. Demikian juga partai Golkar. Jusuf Kalla seakan mendeklarasikan partainya sebagai ikon perdamaian konflik di wilayah Nusantara. Memang demikianlah kondisi bangsa ini ketika menjelang Pemilu. Perang iklan dan pernyataan politik yang saling menjatuhkan selalu dipertontonkan kepada rakyat. Apabila diamati betul-betul, apakah pantas sebagai calon wakil rakyat berbuat demikian? Baru sebagai calon sudah menunjukkan sikap tak pantas, apalagi jika terpilih nanti. Semuanya kembali lagi ke hati nurani masing-masing untuk menentukan siapa yang pantas menjadi wakil rakyat yang sejati.

Kasus lain yang sangat memprihatinkan terjadi menjelang pesta demokrasi sekarang ini adalah batal caleg. Seperti kasus calon anggota legislatif yang menjadi tersangka demonstrasi anarki pembentukan Provinsi Tapanuli, 3 Februari lalu, terancam batal proses pencalonannya. Namun, nama-nama calon legislatif yang jadi tersangka tetap tercantum di kertas suara. Menurut anggota Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara, Turunan Gulo, caleg yang menjadi tersangka demonstrasi anarki pembentukan Provinsi Tapanuli bisa batal pencalegannya karena tiga hal. ”Pertama, yang bersangkutan mengundurkan diri. Kedua, dia dipecat dari keanggotaan partai politik tempat dia mencalonkan diri. Ketiga, yang bersangkutan dijatuhi hukuman dengan putusan hukum tetap yang ancaman hukumannya di atas lima tahun,” ujar Turunan di Medan. Kemanakah moralitas bangsa menanggapai kasus ini, sepertinya semuanya itu sudah luntur termakan zaman. Visi dan misi setiap parpol yang pada intinya merupakan amanah yang harus di laksanakan berbuntut krisis moral hanya karena ulah sejumlah anggota parpol yang bermasalah.

Berdemokrasi yang baik adalah dengan menghargai hak-hak masing-masing warga negara yang mencakup harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila yang merupakan budaya bangsa. Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa hanyalah teori yang patut dibanggakan saja tanpa ada aplikasinya. Seperti di dalam serat Kalatidha tergambarkan situasi krisis budaya pada saat itu baik krisis kepemimpinan, krisis keteladanan, etika, dan krisis budaya lainnya. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, apalagi menjelang pesta demokrasi April mendatang. Bermodalkan materi dan popularitas sudah cukup bagi seseorang untuk mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat. Sebagai contoh, Pemilu 2009 ini ikut diramaikan juga oleh para selebritas kita, patut kita acungkan jempol. Namun niat baik yang mereka ambil menimbulkan berbagai persepsi tidak baik dari sebagian kalangan masyarakat. Satu di antaranya masalah budaya, para selebritas dianggap memberikan teladan-teladan yang kurang baik terhadap publik. Budaya berpakaian contohnya, ini merupakan adopsi dari budaya barat yang tidak tersaring oleh budaya lokal. Seperti kata kebanyakan orang “penampilan adalah karakter” Tidak dapat dibayangkan nantinya apabila wakil rakyat yang tepilih mengalami kebudayaan.

Dari yang dipaparkan di atas, semuanya kembali pada kita masing-masing, dalam menyelesaikan permasalahan itu. Dari demokrasi yang selalu disalah artikan sampai pada kebudayaan yang memperihatinkan, akankah kita turun ke jalan dan menuntut perubahan, ini adalah hal klasik. Sesuatu yang tidak pernah kita lakukan mungkin juga dapat kita lakukan, tetapi semuanya itu haruslah berlandas pada konsep demokrasi yang sebenarnya yang berlandaskan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

 

SUTIMBANG NGAWAN Blak Magik is Designed by sutimbang for smashing magazine Bloggerized by sutimbang © 2009